- Menuntut ilmu: Pergi ke kota lain atau bahkan luar negeri untuk belajar agama, sekolah, atau universitas.
- Beribadah: Melaksanakan ibadah haji, umrah, atau jihad (dalam konteks yang benar dan dibenarkan syariat).
- Menyambung silaturahmi: Mengunjungi keluarga atau kerabat yang jauh.
- Berbisnis atau berdagang: Pergi ke tempat lain untuk mencari nafkah atau mengembangkan usaha.
- Mencari pekerjaan: Merantau ke kota lain untuk mendapatkan pekerjaan yang halal.
- Membela diri atau agama: Dalam kondisi terpaksa untuk melindungi diri atau komunitas.
- Uang tunai: Ini yang paling umum. Diberikan secukupnya untuk membeli tiket transportasi (bus, kereta, pesawat), biaya makan selama di perjalanan, atau biaya akomodasi jika harus menginap.
- Tiket transportasi: Langsung dibelikan tiket pulang atau ke tempat tujuan.
- Makanan dan minuman: Jika kebutuhannya hanya untuk makan dan minum sesaat.
- Perlengkapan dasar: Mungkin jika dibutuhkan untuk kelangsungan perjalanannya, seperti peta, charger HP (jika itu menjadi kendala), dll.
Guys, pernah dengar istilah "Ibnu Sabil" nggak? Kalau belum, yuk kita bahas bareng-bareng. Ibnu Sabil ini adalah salah satu golongan penerima zakat yang perlu kita ketahui dalam ajaran Islam. Jadi, siapakah sebenarnya penerima zakat Ibnu Sabil ini? Secara sederhana, mereka adalah musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh yang kehabisan bekal di tengah jalan. Bayangin aja, kamu lagi asyik jalan-jalan, eh tiba-tiba dompet hilang atau ketinggalan, dan kamu udah nggak punya uang lagi buat pulang atau melanjutkan perjalanan. Nah, dalam kondisi seperti inilah zakat bisa disalurkan kepada mereka.
Konsep Ibnu Sabil ini penting banget, lho. Kenapa? Karena zakat itu kan ibadah harta yang tujuannya untuk membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang membutuhkan. Nah, Ibnu Sabil ini termasuk golongan yang sangat membutuhkan karena mereka terjebak dalam situasi yang tidak terduga. Mereka bukan berarti orang miskin yang menetap, tapi mereka butuh pertolongan mendesak agar bisa kembali ke tempat asal atau melanjutkan tujuannya. Pemberian zakat kepada mereka ini bukan sekadar bantuan finansial, tapi juga bentuk kepedulian sosial dan solidaritas antar sesama muslim. Penting untuk diingat, status Ibnu Sabil ini sifatnya sementara. Begitu mereka sudah sampai tujuan atau punya bekal lagi, statusnya hilang. Jadi, zakat yang diberikan harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka untuk mengatasi kesulitan perjalanannya.
Memahami siapa saja yang berhak menerima zakat, termasuk Ibnu Sabil, adalah bagian penting dari pelaksanaan zakat yang benar. Ini memastikan bahwa amanah para muzakki (pembayar zakat) tersalurkan kepada orang yang tepat dan sesuai dengan syariat Islam. Dengan begitu, tujuan utama zakat, yaitu untuk membersihkan harta dan membantu fakir miskin serta golongan yang berhak lainnya, bisa tercapai secara optimal. Jadi, kalau kamu punya rezeki lebih dan ingin menunaikan zakat, jangan lupa untuk mempertimbangkan golongan Ibnu Sabil ini ya, terutama jika ada musafir di sekitarmu yang sedang kesulitan.
Definisi dan Konteks Syariat Mengenai Ibnu Sabil
Nah, mari kita perdalam lagi ya, guys, mengenai definisi Ibnu Sabil dalam kacamata syariat Islam. Ibnu Sabil, secara harfiah, berarti "anak jalanan" atau "anak dari jalan". Namun, dalam konteks fiqih zakat, istilah ini merujuk pada orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), baik itu dalam rangka kebaikan maupun urusan yang mubah (diperbolehkan), dan ia kehabisan bekal di tengah perjalanannya, sementara dia memiliki harta di tempat asalnya. Poin terakhir ini penting banget untuk ditekankan. Jadi, Ibnu Sabil bukanlah orang yang secara permanen tidak punya harta, tapi ia adalah orang yang terjebak dalam kesulitan finansial saat bepergian karena bekalnya habis atau hilang. Kalau orang itu memang sudah fakir atau miskin di tempat asalnya dan kemudian dia bepergian, maka statusnya kembali menjadi fakir atau miskin, bukan Ibnu Sabil.
Syariat Islam memberikan perhatian khusus pada golongan Ibnu Sabil ini karena mereka rentan terhadap kesulitan dan potensi mudharat selama perjalanan. Bayangkan saja, terdampar di tempat asing tanpa uang untuk makan, transportasi pulang, atau bahkan tempat menginap. Situasi seperti ini tentu sangat menyulitkan dan bisa mendorong seseorang melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, zakat disalurkan kepada mereka untuk membantu mengatasi kesulitan mendesak tersebut. Tujuannya adalah agar mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan aman dan sampai ke tujuannya, baik itu kembali ke rumah, melanjutkan urusan, atau bahkan mencari penghidupan baru jika memang kondisinya memungkinkan dan itu adalah niat baiknya.
Dasar hukum penyaluran zakat kepada Ibnu Sabil terdapat dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60, yang menyebutkan delapan golongan penerima zakat. Ayat ini berbunyi, "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dilunakkan hatinya, budak-budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah (sabilillah), dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan bagi Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Ayat ini secara eksplisit menyebutkan "ibnu sabil" sebagai salah satu mustahik (penerima zakat). Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan ibnu sabil di sini adalah musafir yang terputus perjalanannya dan kehabisan bekal.
Para ulama fiqih mensyaratkan beberapa hal agar seseorang berhak menerima zakat sebagai Ibnu Sabil. Pertama, ia harus seorang musafir, yaitu orang yang melakukan perjalanan jauh dari tempat tinggalnya. Kedua, ia harus kehabisan bekal selama perjalanan tersebut. Ketiga, ia memiliki harta di kampung halamannya, namun tidak bisa mengaksesnya saat itu. Keempat, perjalanannya harus dalam rangka kebaikan atau urusan yang mubah, bukan untuk maksiat atau kejahatan. Misalnya, perjalanan untuk menuntut ilmu, berdagang, silaturahmi, menunaikan ibadah haji atau umrah, bahkan untuk mencari nafkah yang halal. Jika ia bepergian untuk melakukan kejahatan, maka ia tidak berhak menerima zakat. Dengan memahami syarat-syarat ini, penyaluran zakat menjadi lebih tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan syariat.
Kriteria Spesifik Penerima Zakat Ibnu Sabil
Oke, guys, biar makin jelas lagi, kita bedah kriteria spesifik siapa aja sih yang bisa dikategorikan sebagai penerima zakat Ibnu Sabil. Ini penting banget biar kita nggak salah kasih amanah zakat kita. Ingat, Ibnu Sabil itu bukan sembarang orang yang lagi jalan, tapi ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. Kalau syaratnya nggak pas, ya berarti dia bukan golongan Ibnu Sabil yang berhak menerima zakat. Jadi, mari kita simak baik-baik ya!
Pertama dan yang paling utama, statusnya harus sebagai musafir atau dalam perjalanan jauh. Ini bukan sekadar jalan-jalan di sekitar komplek atau ke kota sebelah yang masih bisa dijangkau dalam waktu singkat. Perjalanan jauh ini biasanya merujuk pada jarak yang qashar (membolehkan shalat jamak qashar), yang menurut mayoritas ulama adalah sekitar 80-81 kilometer atau lebih. Jadi, kalau kamu lagi mudik ke kampung halaman yang jaraknya ratusan kilometer, nah itu baru bisa disebut perjalanan jauh. Niat perjalanannya juga penting. Perjalanan itu haruslah dalam rangka kebaikan (taat) atau urusan yang mubah (diperbolehkan). Contohnya seperti:
Nah, yang perlu digarisbawahi adalah, perjalanan tersebut tidak boleh dalam rangka maksiat atau kejahatan. Misalnya, kalau ada orang yang kabur dari kejaran polisi karena melakukan kejahatan, lalu dia kehabisan bekal di jalan, maka dia tidak berhak menerima zakat sebagai Ibnu Sabil. Kenapa? Karena perjalanannya itu dalam rangka menghindari tanggung jawab atas perbuatannya yang melanggar syariat. Jadi, niat dan tujuan perjalanannya haruslah positif atau setidaknya netral.
Kriteria kedua yang tak kalah penting adalah kehabisan bekal di tengah perjalanan. Ini adalah inti dari kesulitan yang dihadapi Ibnu Sabil. Artinya, dia sudah mengeluarkan seluruh bekalnya untuk kebutuhan perjalanan, seperti makan, minum, ongkos transportasi, atau akomodasi, dan kini ia tidak memiliki apa-apa lagi untuk melanjutkan perjalanannya atau kembali ke tempat asalnya. Penting dicatat, dia bukan orang yang sengaja menghabiskan bekalnya untuk hal-hal yang tidak perlu. Kebanyakan ulama sepakat, pemberian zakat kepada Ibnu Sabil ini adalah untuk mencukupi kebutuhannya hingga ia sampai ke tempat tujuannya atau kembali ke tempat asalnya. Jadi, jumlah zakat yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan tersebut, bukan untuk kebutuhan jangka panjang atau modal usaha.
Kriteria ketiga yang seringkali jadi pembeda adalah memiliki harta di tempat asal, namun tidak bisa mengaksesnya saat itu. Ini membedakan Ibnu Sabil dengan fakir miskin yang memang tidak punya harta sama sekali. Orang yang disebut Ibnu Sabil ini, sebetulnya dia orang yang kecukupan atau bahkan kaya di kampung halamannya. Tapi karena dia sedang bepergian dan bekalnya habis, ia menjadi terlantar dan membutuhkan pertolongan mendesak. Uang atau hartanya mungkin masih ada di rumah, tapi ia tidak bisa menggunakannya karena jarak yang jauh atau tidak ada orang yang bisa mengirimkannya. Pemberian zakat kepada mereka sifatnya adalah untuk menolong kondisi daruratnya saat itu, agar ia bisa kembali ke kondisi normalnya.
Jadi, ringkasnya, Ibnu Sabil adalah musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan baik atau mubah, dan ia memiliki harta di kampung halaman namun tidak bisa mengaksesnya. Dengan memahami kriteria ini, kita bisa lebih yakin dalam menyalurkan zakat agar tepat sasaran dan membawa manfaat yang maksimal bagi penerimanya. Ini juga menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu siap sedia membantu sesama, terutama mereka yang sedang tertimpa kesulitan tak terduga di perjalanan.
Perbedaan Ibnu Sabil dengan Fakir Miskin
Guys, penting banget nih kita paham perbedaan antara Ibnu Sabil dengan fakir miskin, soalnya keduanya sama-sama penerima zakat, tapi kondisi dan hak mereka berbeda. Jangan sampai kita salah menggolongkan atau salah menyalurkan zakat. Ibnu Sabil itu kan kayak yang udah kita bahas tadi, dia itu musafir yang kehabisan bekal di perjalanan, padahal dia punya harta di kampung halaman. Nah, kalau fakir miskin itu beda lagi, mereka adalah orang yang tidak punya harta atau penghasilan sama sekali, atau punya tapi tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Mereka ini kondisinya permanen kekurangan, bukan sementara karena lagi jalan.
Bayangin gini, ada dua orang nih. Orang pertama lagi naik kereta mau pulang kampung, tapi di tengah jalan dompetnya dicopet, padahal di rumahnya dia punya tabungan. Nah, orang ini adalah Ibnu Sabil. Dia butuh bantuan buat beli tiket pulang atau makan sampai tujuan. Orang kedua adalah tetangga kita yang sehari-hari kerjanya serabutan, penghasilannya nggak menentu, dan seringkali nggak cukup buat beli beras buat makan keluarganya. Nah, orang ini adalah fakir atau miskin. Dia butuh bantuan yang lebih berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Pemberian zakat kepada Ibnu Sabil itu sifatnya sementara dan untuk mengatasi kesulitan mendesak saat perjalanan. Tujuannya adalah agar dia bisa sampai ke tempat tujuannya dengan selamat, entah itu kembali ke rumah atau melanjutkan urusannya. Jadi, bantuan yang diberikan itu biasanya sebatas untuk biaya transportasi, makan, dan akomodasi sampai ia tiba di tempat yang aman. Fokusnya adalah mengembalikan ia ke kondisi normalnya sebagai orang yang berkelanjutan.
Sedangkan, zakat yang diberikan kepada fakir miskin itu tujuannya lebih luas, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka dan mengangkat derajat mereka dari kemiskinan. Bantuan ini bisa berupa makanan pokok, pakaian, biaya pendidikan anak, biaya berobat, atau bahkan modal usaha kecil-kecilan agar mereka bisa mandiri dan tidak terus-menerus bergantung pada zakat. Pemberian zakat kepada fakir miskin itu sifatnya bisa berkelanjutan sampai kondisi mereka membaik atau mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Perbedaan mendasar lainnya terletak pada kepemilikan harta. Ibnu Sabil, meskipun kehabisan bekal di jalan, secara prinsip memiliki harta atau sumber penghasilan di tempat asalnya. Dia hanya terhalang untuk mengaksesnya saat itu. Sementara fakir miskin, memang tidak memiliki harta sama sekali atau hartanya sangat sedikit dan tidak mencukupi. Perbedaan ini penting karena menentukan prioritas dan jenis bantuan yang diberikan. Zakat yang disalurkan untuk Ibnu Sabil adalah untuk memutus kesulitan perjalanannya, sedangkan zakat untuk fakir miskin adalah untuk meringankan beban hidupnya yang terus-menerus.
Penting juga untuk dicatat, bahwa seorang musafir yang kehabisan bekal bisa saja sekaligus termasuk kategori fakir miskin. Misalnya, jika ia bepergian untuk mencari kerja karena di kampungnya ia memang sudah fakir atau miskin. Dalam kasus seperti ini, ia berhak menerima zakat sebagai fakir miskin, dan kebutuhan perjalanannya juga bisa dibantu dari dana zakat, tergantung kebijakan amil zakat setempat. Namun, jika ia orang yang berkecukupan di kampungnya lalu kehabisan bekal saat bepergian, maka ia berhak menerima zakat sebagai Ibnu Sabil untuk kelangsungan perjalanannya. Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa memastikan bahwa zakat yang kita tunaikan benar-benar sampai kepada pihak yang paling membutuhkan sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Ini adalah bentuk ikhtiar kita untuk menjalankan perintah Allah SWT dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana Zakat Diberikan kepada Ibnu Sabil?
Nah, sekarang kita mau bahas nih, guys, bagaimana sih zakat itu diberikan kepada Ibnu Sabil? Apa ada cara khusus atau ada hal-hal yang perlu diperhatikan? Jawabannya, tentu saja ada. Pemberian zakat kepada golongan Ibnu Sabil ini memang punya kekhasan tersendiri karena sifat kebutuhannya yang mendesak dan bersifat sementara. Ini bukan sekadar kasih uang begitu saja, tapi ada pertimbangan agar bantuan itu efektif dan sesuai syariat. Yuk, kita kupas tuntas!
Pertama, bentuk pemberiannya harus sesuai dengan kebutuhan mendesak saat perjalanan. Artinya, zakat yang diberikan itu tujuannya untuk membantu Ibnu Sabil agar bisa melanjutkan perjalanannya dengan aman dan sampai ke tujuan. Jadi, bantuan itu bisa berupa:
Pemberiannya tidak boleh berlebihan, tapi juga tidak boleh kurang dari yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan perjalanannya. Amil zakat (petugas yang menyalurkan zakat) biasanya akan melakukan verifikasi singkat untuk memastikan kebutuhan si musafir ini.
Kedua, penyaluran bisa dilakukan di mana saja ia ditemukan kesulitan. Karena Ibnu Sabil adalah musafir yang kehabisan bekal, ia bisa ditemukan di berbagai tempat, seperti di terminal bus, stasiun kereta, bandara, pelabuhan, atau bahkan di jalan raya jika ia terpaksa berjalan kaki. Siapa saja yang melihat atau bertemu dengan kondisi Ibnu Sabil ini, ia bisa menyalurkan zakatnya. Idealnya, penyaluran zakat ini dilakukan melalui lembaga amil zakat resmi yang terpercaya. Kenapa? Karena lembaga amil zakat biasanya punya sistem yang lebih terstruktur dalam mendata dan menyalurkan bantuan. Mereka bisa memverifikasi kondisi si musafir dengan lebih baik dan memastikan bantuan yang diberikan tepat sasaran. Namun, jika memang ada kondisi darurat dan tidak memungkinkan melalui lembaga, memberikan langsung kepada yang membutuhkan pun sah, asalkan kita yakin ia benar-benar memenuhi kriteria sebagai Ibnu Sabil.
Ketiga, niat dan tujuan perjalanan haruslah mubah atau baik. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang bepergian dalam rangka maksiat. Amil zakat atau orang yang menyalurkan zakat berhak menanyakan niat perjalanannya, meskipun tentu saja harus dilakukan dengan bijak dan tidak menyinggung. Jika ternyata perjalanannya untuk tujuan yang tidak baik, maka ia tidak berhak menerima zakat sebagai Ibnu Sabil. Ini penting untuk menjaga kesucian tujuan zakat sebagai ibadah.
Keempat, pemberian zakat haruslah sampai ia mencapai tujuan atau kembali ke tempat asalnya. Artinya, jumlah zakat yang diberikan itu diukur berdasarkan kebutuhan untuk menyelesaikan masalah perjalanannya. Misalnya, jika ia membutuhkan dana untuk pulang ke kampungnya yang berjarak 500 km, maka zakat yang diberikan adalah senilai tiket dan bekal untuk perjalanan sejauh itu. Jika ia membutuhkan dana untuk melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke kota lain, maka zakatnya adalah untuk membiayai perjalanan tersebut. Setelah ia sampai di tujuan atau kembali ke tempat asalnya dan tidak lagi dalam kesulitan perjalanan, maka status Ibnu Sabil-nya hilang.
Oleh karena itu, para amil zakat atau individu yang menyalurkan zakat perlu cerdas dalam memberikan bantuan. Kadang, bantuan tidak hanya berupa uang, tapi bisa juga memfasilitasi kepulangan mereka, menghubungi keluarga mereka, atau memberikan arahan yang positif. Tujuannya adalah agar bantuan zakat ini benar-benar menjadi solusi dari kesulitan yang mereka hadapi saat itu. Dengan cara ini, zakat akan menjadi sarana yang efektif untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah perjalanan dan menegakkan prinsip solidaritas dalam Islam.
Pentingnya Memahami Ibnu Sabil dalam Zakat
Guys, kenapa sih kok kita perlu banget memahami Ibnu Sabil dalam konteks zakat? Bukannya zakat itu kan intinya bantu orang susah aja? Nah, pemahaman yang detail ini penting lho, karena berkaitan dengan keabsahan dan efektivitas penyaluran zakat. Kalau kita salah kasih, bisa-bisa ibadah zakat kita nggak sah atau manfaatnya nggak maksimal. Jadi, mari kita renungkan bareng-bareng pentingnya hal ini.
Pertama, memastikan zakat tersalurkan sesuai syariat dan tepat sasaran. Allah SWT sudah menetapkan delapan golongan penerima zakat dalam Al-Qur'an. Salah satunya adalah Ibnu Sabil. Dengan memahami siapa itu Ibnu Sabil secara benar, kita bisa memastikan bahwa harta zakat yang kita keluarkan benar-benar sampai kepada golongan yang berhak menerimanya sesuai ketetapan ilahi. Kalau kita nggak paham, bisa saja kita salah menggolongkan, misalnya memberi zakat kepada orang yang sebenarnya mampu tapi sedang bepergian tanpa bekal, atau sebaliknya, tidak memberi kepada yang berhak karena tidak tahu. Ketepatan sasaran ini adalah kunci agar tujuan zakat, yaitu membersihkan harta dan membantu mereka yang benar-benar membutuhkan, tercapai.
Kedua, menghindari kesalahpahaman dan penyalahgunaan dana zakat. Uang zakat itu amanah, guys. Bukan sembarang uang sumbangan. Kalau kita salah menyalurkan, misalnya ke orang yang sebenarnya tidak berhak, itu bisa diibaratkan seperti kita menggunakan harta amanah untuk kepentingan yang salah. Pemahaman yang jelas tentang kriteria Ibnu Sabil membantu kita, baik sebagai muzakki (pembayar zakat) maupun sebagai amil (penyalur zakat), untuk lebih berhati-hati dan teliti. Kita bisa bertanya lebih detail (tentu dengan cara yang baik) kepada calon penerima zakat untuk memastikan kondisinya sesuai. Ini juga mencegah adanya oknum yang mengaku-ngaku sebagai Ibnu Sabil padahal tidak memenuhi syarat.
Ketiga, mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Zakat adalah salah satu rukun Islam. Pelaksanaannya harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan para ulama. Memahami semua aspek zakat, termasuk golongan penerimanya, adalah bagian dari cara kita mengamalkan ajaran Islam secara utuh. Ibnu Sabil adalah golongan yang rentan, dan perhatian Islam kepada mereka menunjukkan bahwa ajaran ini sangat peduli terhadap kondisi sosial masyarakat, bahkan bagi mereka yang sedang dalam kesulitan perjalanan. Mengabaikan salah satu golongan penerima zakat bisa berarti kita belum sepenuhnya mengamalkan perintah zakat.
Keempat, menumbuhkan rasa empati dan kepedulian sosial. Dengan mengetahui kisah dan kondisi Ibnu Sabil, kita bisa lebih mudah berempati. Bayangkan betapa sulitnya terdampar di tempat asing tanpa bekal. Hal ini mendorong kita untuk lebih peka terhadap kondisi orang lain dan siap membantu ketika kita bertemu dengan orang yang membutuhkan. Zakat, melalui pemahaman seperti ini, tidak hanya menjadi ritual ibadah, tetapi juga sarana untuk membangun masyarakat yang saling peduli dan saling menolong. Ini adalah nilai luhur yang diajarkan dalam Islam.
Terakhir, memahami Ibnu Sabil juga memperkaya wawasan kita tentang fiqih muamalah dan sosial dalam Islam. Ini menunjukkan betapa detailnya aturan Islam dalam mengatur kehidupan, termasuk dalam hal pengelolaan harta dan bantuan sosial. Dengan pemahaman yang baik, kita bisa menjadi muzakki yang cerdas dan amil yang amanah. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga zakat karena penyalurannya terbukti efektif dan sesuai ajaran.
Jadi, guys, jangan anggap remeh pemahaman tentang Ibnu Sabil ini. Ini adalah bagian penting dari ibadah zakat kita yang akan membawa manfaat dunia akhirat. Yuk, sebarkan ilmu ini dan jadilah bagian dari solusi bagi saudara-saudara kita yang membutuhkan, termasuk para Ibnu Sabil yang sedang diuji perantauan. #zakat #ibnusabil #penerimazakat #fiqihzakat #dakwahislam
Lastest News
-
-
Related News
Union Budget 2025: Live Updates & News Today
Alex Braham - Nov 12, 2025 44 Views -
Related News
Homes For Sale 19152: Find Your Dream Home!
Alex Braham - Nov 14, 2025 43 Views -
Related News
Flamengo Vs Vitoria: Watch Live Online Free
Alex Braham - Nov 9, 2025 43 Views -
Related News
Boost Your Signal: Omni Antenna Guide
Alex Braham - Nov 16, 2025 37 Views -
Related News
Pay Zakat Online In Sarawak 2022: A Simple Guide
Alex Braham - Nov 12, 2025 48 Views